Jumat, 12 Oktober 2012

__Rhie Nachan Pletty__^: INTEGRASI ILMU

__Rhie Nachan Pletty__^: INTEGRASI ILMU: BOOK REVIEW INTEGRASI ILMU SEBUAH REKONTRUKSI HOLISTIK Karya: Dr. Mulyadhi Kartanegara Oleh: Rina Nurhasanah 59461206 ...

Senin, 08 Oktober 2012

INTEGRASI ILMU


BOOK REVIEW
INTEGRASI ILMU SEBUAH REKONTRUKSI HOLISTIK

Karya: Dr. Mulyadhi Kartanegara


Oleh:
Rina Nurhasanah
59461206
Biologi-B/ VII
IAIN Syekh Nurjati Cirebon


Buku yang berjudul “Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik” ini berjumlah sebanyak 244 halaman terdiri dari 12 pembahasan topik. Buku ini diterbitkan atas kerjasama ARASY Mizan dan UIN Jakarta Press yang merupakan cetakan pertama pada bulan Juli 2005. Buku ini merupakan salah satu buah karya Dr. Mulyadhi Kartanegara. Beliau adalah seorang doktor filsafat lulusan Universitas Chicago. Kini, beliau mengajar mata kuliah filsafat di berbagai PT. Banyak karya beliau yang telah dipublikasikan, diantaranya yaitu Renungan Mistik Jalal Al-Din Rumi (Pustaka Jaya, 1987), Pengantar Epistemologi Islam (Mizan, 2003) dll. Beliau juga aktif berpartisipasi dalam berbagai seminar dalam dan luar negeri. 12 topik dari buku “Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik” menjelaskan mengenai problem-problem akibat dikotomi antara ilmu sekuler dan ilmu agama, mengenai tauhid yang merupakan prinsip utama integrasi ilmu, basis integrasi ilmu-ilmu agama dan umum dan integrasi dari berbagai kajian, diantaranya yaitu integrasi objek-objek ilmu, integrasi bidang ilmu metafisika, integrasi bidang ilmu matematika dan fisika, integrasi sumber ilmu, integrasi pengalaman manusia, integrasi metode ilmiah, integrasi penjelasan ilmiah, integrasi ilmu teoretis dan praktis, serta sebuah studi kasus psikologi.

Topik pertama dari buku ini menjelaskan tentang problem-problem yang diakibatkan dikotomi yang sangat ketat antara ilmu-ilmu sekuler dan agama saat ilmu-ilmu sekuler tersebut diperkenalkan ke dunia Islam lewat inperialisme Barat. Problem tersebut diantaranya yaitu:
a.    Pihak kaum tradisional menganggap bahwa ilmu-ilmu umum itu bid’ah atau haram dipelajari karena berasal dari orang-orang kafir. Sementara para pendukung ilmu-ilmu umum menganggap ilmu-ilmu agama sebagai pseudo-ilmiah atau hanya sebagai mitologi yang tidak akan mencapai tingkay ilmiah karena tidak berbicara tentang fakta tetapi tentang makna yang tidak bersifat empiris.
b.    Timbulnya kesenjangan tentang sumber ilmu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Para pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber-sumber Ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber non-skriptural sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran yang sejati. Di pihak lain, ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan indrawi.
c.    Problem yang berkenaan dengan objek-objek ilmu yang dianggap “sah” untuk sebuah disiplin ilmu. Sains modern telah menentukan bahwa objek-objek ilmu yang sah adalah “segala sesuatu sejauh ia dapat di observasi atau diamati oleh indra” yang disebut juga objek fisik. Di pihak lain, para pendukung ilmu-ilmu agama justru menganggap bahwa objek-objek non-fisik, seperti Tuhan dan malaikat (ataupun jiwa) merupakan objek-objek mulia yang pembahasan tentangnya tidak hanya akan menguatkan dan meningkatkan status ilmiah bidang yang mempelajari objek tersebut (metafisika) tetapi juga memberikan kebahagiaan yang luar biasa bagi siapa saja yang mempelajarinya.
d.   Munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu.
e.    Problem yang menyangkut metodologi ilmiah. Sains modern hanya mengenal satu metode ilmiah yang disebut metode observasi atau eksperimen, atau yang dimaksud adalah observasi indrawi. Kaum agamis tradisional telah mengembangkan metode-metode yang menjauhkan umatnya dari penggunaan pengamatan indra dan juga penalaran akal dalam ilmu-ilmu agama. Metode kajian agama bersifat sangat normative dan tidak mengalami banyak perubahan.
f.     Problem terakhir yaitu sulitnya mengintegrasikan berbagai pengalaman manusia, khususnya indra, intelektual, dan intuisi sebagai pengalaman-pengalaman legitimate dan riil dari manusia.

Topik kedua dari buku ini yaitu mengenai Tauhid sebagai prinsip utama integrasi ilmu. Konsep tauhid diambil dari formula konvensional Islam “Laa Ilaaha Illallaah”. Para filosof Muslim memiliki tafsir yang berbeda dengan para teolog dan fuqaha tentang formula tersebut. Perbedaannya terletak pada lafadz “Ilaah”. Para teolog mengartikannya sebagai “Tuhan yang wajib disembah”, sedangkan para sufi mengartikannya dengan “hakikat”. Meskipun begitu, pandangan yang lebih relevan dengan topik sebenarnya adalah tafsir keesaan Tuhan menurut Mullȃ Shadrȃ dalam apa yang biasanya disebut sebagai ajaran ”waẖdah al-wujȗd”.
Menurut penulis, dari semua pandangan yang ada, konsep waẖdah al-wujȗd Mullȃ Shadrȃ-lah yang paling cocok untuk dijadikan sebagai basis integrasi ilmu, terutama bagi status ontologis objek-objek penelitiannya. Menurutnya, segala wujud yang ada (dengan segala bentuk dan karakternya) pada hakikatnya adalah satu dan sama. Yang membedakan yang satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensiya.
Konsep tauhid Mullȃ Shadrȃ dalam bentuk “kesatuan wujud” dapat dijadikan sebagai basis integrasi ilmu, terutama bagi objek-objek ilmu dan juga (sebagai implikasinya) bagi yang lain-lain, seperti sumber, klasifikasi ilmu filosofis (rasional), metode ilmiah dan berbagai jenis pengalaman manusia baik yang bersifat indrawi, intelektual, mental, mistik, maupun spiritual.

Topik ketiga menjelaskan mengenai basis integrasi ilmu-ilmu agama dan umum. Dikotomi yang begitu ketat antara ilmu-ilmu agama dan sekuler mengarah pada pemisahan yang tidak bisa dipertemukan lagi antara keduanya bahkan cenderung pada penolakan keabsahan masing-masing dengan menggunakan metode yang juga sangat berbeda dengan sudut jenis dan prosedurnya. Namun pemisahan tersebut masih bisa diatasi dengan cara menemukan basis yang sama bagi keduanya. Seperti para cendekiawan muslim yaitu Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, dikotomi yang mereka lakukan hanyalah sekadar penjenisan bukan pemisahan apalagi penolakan. Menurut Al-Ghazali kedua jenis ilmu tersebut yaitu ilm syar’iyah dan ghair syar’iyah. Penulis menyatakan bahwa basis integrasi kedua macam ilmu tersebut yaitu baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum sebenarnya sama-sama mengkaji “ayat-ayat Allah”, hanya saja pertama mengkaji ayat-ayat yang bersifat qauliyyah dan yang kedua mengkaji ayat-ayat yang bersifat kauniyyah.

Pada topik keempat yaitu membahas mengenai integrasi objek-objek ilmu. Disini dijelaskan bahwa agar terjadi integrasi di bidang objek-objek ilmu, maka lingkup ilmu harus diperluas, mencakup bukan hanya objek-objek fisik, melainkan juga nonfisik, seperti matematika dan metafisik. Adanya perbedaan status ontologis objek ilmu yaitu objek fisik dan nonfisik, yang kita tahu bahwa ilmuwan barat yang hanya mengakui adanya objek fisik saja. Dalam bab ini juga dijelaskan hirarki status ontologisobjek ilmu, diantaranya yaitu:
a.    Puncak hirerarki wujud adalah Tuhan yang merupakan sebab bagi keberadaan yang lain.
b.    Para malaikat, dibawahnya, yang merupakan wujud-wujud yang murni immaterial
c.    Benda-benda langit atau angkasa
d.   Benda-benda bumi

Adapun yang dimaksud dengan integrasi objek-objek ilmu ini adalah sebuah system terpadu objek-objek ilmu yang berkesinambungan, dari objek-objek yang bersifat metafisik, imajinal, dan fisik yang disajikan secara utuh, bukan secara partial, ketika objek-objek ilmu hanya dibatasi pada bagian-bagian tertentu saja, dengan mengabaikan objek-objek lainnya.

Selanjutnya, pada topik kelima membahas tentang integrasi bidang ilmu yang terfokus pada metafisika. Ibn Sina telah mengelompokkan objek-objek ilmu kedalam tiga macam, yang akhirnya membentuk tiga kelompok besar yaitu metafisika, fisika, dan matematika. Pada bab ini hanya menjelaskan bagian-bagian dari metafisika, diantaranya yaitu:
a.    Bagian yang mempelajari wujud sebagai wujud, yang biasa disebut ontology atau ilmu tentang wujud.
b.    Bagian yang mempelajari materi umum yang mempengaruhi benda-benda jasmani dan spiritual, seperti kuiditas, kesatuan, pluralitas, dan kemungkinan.
c.    Bagian yang mempelajari asal usul benda-benda yang ada dan menentukan apakah mereka itu adalah entitas-entitas spiritual atau bukan.
d.   Bagian yang mempelajari bagaimana cara benda-benda yang ada muncul dari entitas-entitas spiritual dan mempelajari susunan mereka.
e.    Bagian yang mempelajari keadaan jiwa setelah perpisahan dengan badan dan kembalinya ia ke asal atau permulaannya.

Topik keenam membicarakan tentang integrasi bidang-bidang ilmu kedua yang mencakup matematika dan fisika. Disini yang dibahas yaitu mengenai pengertian ilmu matematika dan fisika begitu juga cabang-cabang dari kedua ilmu tersebut. Cabang-cabang tersebut terbagi juga dalam subdivisi-subdivisi yang lebih melebar lagi pembahasannya. Ilmu-ilmu tersebut merupakan ilmu teoretis. Selain ilmu teoretis dalam topik keenam ini juga membicarakan mengenai ilmu-ilmu praktis seperti yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim. Ilmu-ilmu praktis itu diantaranya yaitu seperti etika, ekonomi, dan politik.

Topik selanjutnya yaitu membahas mengenai integrasi sumber ilmu. Yang dimaksud penulis sebagai sumber ilmu adalah alat atau sesuatu darimana manusia bisa mendapatkan informasi tentang objek-objek ilmu yang berbeda-beda sifat dasarnya. Ketika sains Barat membatasi objeknya hanya pada entitas-entitas fisik, maka alat atau sumber yang mereka pakai untuk memperoleh pengetahuan tentang entitas-entitas fisik tersebut adalah indra-indra fisik. Baik ilmuwan Barat maupun ilmuwan Muslim tidak berselisih paham tentang ini, yakni tentang pentingnya indra sebagai sumber ilmu. Hanya saja karena ilmuwan Muslim berpendapat bahwa objek-objek ilmu tidak hanya yang bersifat fisik, tetapi juga yang non-fisik, tentunya mereka mencari alat (sumber) ilmu pengetahuan lain yang mampu menggali informasi tentang objek-objek non-indrawi. Dengan demikian, ilmuwan Muslim mengakui tiga macam alat ilmu yang mampu menguak segala jenis objek ilmu, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Ketiga macam tersebut yaitu indra, akal, dan hati (intuisi).
Oleh karena itu dalam topik yang ketujuh ini dibahas satu persatu tentang indra, yaitu pancaindra yang berupa indra penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa, dan peraba. Selain indra juga terdapatpembahasan mengenai akal yang mampu melengkapi segala kekurangan yang diderita oleh pancaindra. Cara akal untuk menyelidiki benda-benda fisik yang diserap oleh alat-alat indra yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan berdasarkan kategori-kategori mental yang dimilikinya. Akal tidak hanya menangkap konsep dan informasi pada objek-objek indrawi tetapi juga dapat menangkap konsep-konsep abstrak. Selain indra dan akal, para ilmuwan Muslim juga menggunakan hati dan kitab suci (Al-Qur’an dan Hadits) sebagai alat (sumber) ilmu. Keempat sumber ilmu tersebut tidak bisa dipisah-pisah satu sama lain tanpa menimbulkan disintegrasi pada sumber ilmu pengetahuan manusia.

Selanjutnya, topik kedelapan membahas tentang integrasi pengalaman manusia. Kita sering mendengar ungkapan bahwa ilmu (sains) harus bersifat empiris. Artinya, berdasarkan pada pengalaman. Pengalaman yang dimaksud, yaitu pengalaman indrawi. Pengalaman indrawi inilah satu-satunya pengalaman manusia yang dapat diverifikasi secara ilmiah, yaitu dapat dibuktikan benar tidakya secara objektif. Sedangkan pengalaman-pengalaman manusia yang lain seperti pengalaman intelektual dan religius disingkirkan sebagai tidak objektif karena bersifat pribadi, tidak bisa dibuktikan, dank arena itu bersifat subjektif. Inilah pandangan kaum empiris yang dijadikan sebagai basis sains modern.
Para ilmuwan Muslim tidak hanya memandang pengalaman indrawi, tetapi juga mengakui pengalaman non-indrwawi. Oleh sebab itu, di dalam buku ini dibahas beberapa pengalaman non-indrawi seperti pengalaman intelektual, spiritual dan mistik, yang menurut dunia Barat dianggap subjektif, tetapi ilmuwan Muslim menganggapnya sebagai pengalaman yang objektif. Pengalaman-pengalaman non-indrawi yang dibahas diantaranya yaitu dimulai dari mimpi, berpikir (pengalaman intelektual), dan pengalaman mistik.

Topik kesembilan menjelaskan tentang integrasi metode ilmiah, yaitu metode-metode ilmiah apa yang digunakan oleh para ilmuwan Muslim dalam pembahasan mereka tentang objek-objek yang mereka teliti. Metode yang biasa dilakukan yaitu observasi. Metode observasi indrawi diawali dengan beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk membantu menyempurnakan pengamatan indrawi, diantaranya yaitu pengukuran. Langkah kedua metode pengamatan indrawi ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu. tetapi betapapun canggihnya metode pengamatan indrawi, pengamatan indra tetap saja tidak memadai, karena sehebat-hebatnya pengamatan indra tidak akan mampu menembus objek-objek non-fisik. Oleh karena itu, system atau pandangan keilmuan yang integral menuntut pengamatan terhadap objek-objek non-indrawi, yang bisa ditempuh dengan dua cara:
a.         Secara intelektual melalui penyelidikan akal
b.        Secara intuitif melalui pengamatan mistik atau pengamatan hati (intuisi).

Dalam topik ini juga dijelaskan mengenai tingkatan dari metode rasional atau penalaran akal yang merupakan penjabaran dari cara pertama. Tingkatan metode tersebut dari terbawah yaitu:
a.         Metode puitis
b.        Metode retorik
c.         Metode sofistik
d.        Metode dialektik
e.         Metode demonstrative

Cara kedua yang dijabarkan yaitu berdasarkan intuisi dapat menggunakan metode irfani. Dalam perkembangannya dikenal sebagai ilmu hudhuri. Kalau dalam penelitian objek-objek indrawi, metode observasi, atau eksperimen harus dibantu oleh system pengukuran dan juga alat bantu, dan pengenalan rasional harus dicapai dengan pengenalan dan penerapan kaidah-kaidah logika yang ketat, yaitu dengan cara isti’dad, mempersiapkan diri untuk menyongsong iluminasi langsung dari Tuhan.
Pemikir Muslim telah membentuk satu kesatuan yang padu dari metode-metode ilmiah tajribi, burhani, irfani, isti’dad- dalam Bahasa Arab- harus dikatakan bahwa sebagai metodologi ilmiah, keempat metode tersebut harus dipandang sah karena perbedaan mereka tidaklah berdasarkan kualitasnya sebagai metodologi tetapi karena perbedaan sifat dasar objek-objek yang diteliti.

Topik kesepuluh dalam buku ini membahas tentang integrasi penjelasan ilmiah. Pemihakan sains modern terhadap materialisme dalam bentuk positivisme dan naturalisme telah menyebabkan timbulnya pemberontakan (revolusi) terhadap penjelasan ilmiah Aristotelian, yang mensyaratkan sebuah penjelasan ilmiah untuk memenuhi empat sebab atau empat prinsip penjelasan, diantaranya yaitu:
a.    Sebab efisien
b.    Sebab final
c.    Sebab materiil
d.   Sebab formal

Dalam alam pikiran modern, sebab materiil dan formal dianggap kuno. Sebab final juga telah lama disingkirkan dalam fisika, dan kadang masih digunakan dalam biologi.
Tentunya, boleh saja mencontoh langkah-langkah sains modern yang hanya menganggap satu macam sebab saja untuk penjelasan ilmiah, yaitu sebab efisien, yang dipahami sebagai sebab penggerak yang berasal dari dirinya sendiri. Tetapi, dari sudut pandang keilmuan yang integral dan holistic, penjelasan ilmiah modern akan merugikan karena meninggalkan banyak aspek yang seharusnya dijelaskan dengan terperinci dan jelas dalam penjelasan ilmiah yang integral. Oleh karena itu jika ingin membangun sebuah pandangan ilmiah yang integral dan komprehensif, keempat prisip penjelasann atau sebab, harus mendapatkan penjelasan ilmiahnya masing-masing.
Pada topik ini lebih menegaskan pada persoalan yang membahas tentang empat prinsip penjelasan atau sebab Aristotelian, sebagaimana dipahami dan dipraktikan oleh para pemikir/ filosof Muslim. Masing-masing dari keempat sebab itu dijelaskan dengan sangat terperinci oleh penulis.
Dengan demikian, jelaslah bahwa keempat sebab tersebut merupakan satu kesatuan tunggal dari penjelasan ilmiah yang tidak akan sempurna kalau salah satunya ditinggalkan. Hanya dengan menjelaskan keempat sebab bagi sebuah objek yang sedang diteliti, maka akan memperoleh pengetahuan yang holistic dan komprehensif.

Topik selanjutnya yaitu membahas tentang integrasi ilmu teoretis dan praktis. Para filosof Muslim telah lama membagi ilmu pada dua klasifikasi/ jenis, yaitu teoretis dan praktis. Pembagian ini terkait erat dengan pembagian akal oleh mereka kedalam akal teoretis dan akal praktis. Perbedaan fundamental antara ilmu-ilmu teoretis dan praktis, dari sudut objeknya adalah bahwa objek-objek ilmu teoretis berupa benda/ entitas (baik fisik maupun non-fisik), sedangkan objek-objek ilmu praktis adalah tindakan volunteer manusia.
Dalam tradisi filosofis Islam, pengetahuan teoretis dan praktis tidak bisa dipisahkan secara tegas tanpa menimbulkan disintegrasi pemahaman. Akan tetapi, topik kesebelas ini yang lebih ditegaskan dan dijelaskan adalah ilmu praktis. Secara garis besar, ilmu-ilmu praktis dibagi kedalam tiga disiplin ilmu, yaitu etika, ekonomi, dan politik. Dari ketiga disiplin ilmu tersebut dijelaskan oleh penulis secara terperinci berdasarkan pendapat-pendapat para ilmuwan Muslim. Ekonomi yang dimaksud dalam salah satu disiplin tersebut yaitu manajemen rumah tangga.
Yang menarik dalam kaitannya dengan integrasi ilmu-ilmu teoretis dan praktis adalah kenyataan bahwa pertimbangan-pertimbangan dan penilaian tentang keutamaan manusia di bidang moral individual, selalu mempunyai akar atau basis filosofis bahkan metafisikanya. Karakteristik lain dari ilmu-ilmu praktis filosofis Islam adalah dikaitkannya ilmu-ilmu tersebut dengan pandangan-pandangan religious, yang menunjukkan bahwa teori-teori moral, ekonomi, dan politik tidak sepenuhnya dipisahkan dari pandangan agama.

Topik terakhir dalam buku ini memaparkan tentang sebuah studi kasus mengenai psikologi. Dalam bab ini yang lebih ditegaskan adalah, penulis menuliskan beberapa contoh dalam sebuah studi kasus dari sebuah cabang ilmu, yaitu psikologi yang dapat dikaji secara integral dan holistik.
Masalah yang dibahas secara terperinci yaitu mengenai:
a.         Kedudukan psikologi dalam keseluruhan klasifikasi ilmu-ilmu rasional Islam
b.        Immaterialitas jiwa manusia
c.         Psikologi dalam konteks metafisika atau kosmik

Inilah isi singkat dari buku yang berjudul “Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik” karya Dr. Mulyadhi Kartanegara, dan menurut saya memiliki kelebihan dan masih juga memiliki kekurangan.

Kelebihan dari buku ini yaitu:
a.         Dalam setiap paragraph pembahasan mengenai suatu gagasan, penulis selalu mengemukakan pendapat-pendapat dari para ilmuwan Muslim, yang menandakan betapa luasnya pengetahuan beliau tentang kajian Islam.
b.        Setiap membahas suatu topic, dijelaskan begitu terperinci dan mendetail sampai hal-hal terkecil. Misalnya pembahasan cabang-cabang dari suatu gagasan.
c.         Pengulangan kalimat dalam setiap bab yang dapat membantu mengingat kembali dan menunjukkan keterkaitan yang sangat erat antara bab yang satu dengan bab lainnya. Seperti objek-objek ilmu fisik dan non-fisik yang selalu muncul dalam beberapa bab (topik).
d.        Memiliki Apendiks di akhir buku sebagai ringkasan rinci dari seluruh isi buku ini.

Adapun beberapa kekurangan yang menurut saya ada, yaitu:
a.         Penulis masih banyak menggunakan kata-kata asing dan kurang familiar sehingga saya membaca buku ini membutuhkan penafsiran dari kata-kata tersebut.
b.        Bahasa yang digunakan penulis luar biasa sehingga saya butuh membaca bebrapa kali untuk mengetahui inti dari pembahasan tiap paragrafnya.
c.         Isi buku terlalu padat tanpa adanya kata-kata selingan atau kalimat selingan sehingga membuat cepat jenuh untuk membacanya.